Punahnya satu makhluk pasti berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Tapi jika yang punah adalah nyamuk penyebab berbagai penyakit seperti malaria, demam berdarah hingga chikungunya, adakah dampak negatifnya?
Nyamuk merupakan salah satu serangga yang sudah ada sejak zaman dulu kala. Peneliti memperkirakan, serangga ini sudah hidup berdampingan dengan makhluk lain di muka bumi ini sejak 100 juta tahun yang lalu.
Dari lebih dari 3.500 spesies nyamuk di muka bumi ini, sebenarnya hanya ada ratusan spesies yang menyerang manusia. Namun tak dapat dipungkiri, nyamuk menjadi salah satu musuh utama karena menularkan berbagai penyakit mematikan.
Berbagai upaya pernah dilakukan oleh manusia untuk melenyapkan nyamuk, terutama jenis tertentu yang menularkan penyakit. Sebagian besar memang masih sebatas riset di laboratorium, namun prospeknya cukup menjanjikan.
Salah satunya pernah dilakukan oleh tim dari University of Oxford. Rekayasa genetika yang dilakukan tim tersebut berhasil menciptakan nyamuk jantan yang jika mengawini nyamuk betina maka akan menghasilkan nyamuk tak bersayap.
Meski bisa menggigit, nyamuk mutan tersebut tidak bisa terbang karena tidak memiliki sayap. Karena nyamuk betina harus terbang untuk bisa minum darah, lama-kelamaan nyamuk tidak bisa berkembang biak lalu punah.
Dengan teknologi yang sama, tim dari University of Arizona juga pernah menghasilkan nyamuk anophales yang kebal virus malaria. Meski tidak bertujuan untuk memusnahkan nyamuk, cara ini juga bertujuan untuk melenyapkan penyakit
malaria.
Seandainya nyamuk-nyamuk mutan itu bisa diproduksi secara masal lalu dilepas ke alam dan menyebabkan kepunahan, dampak seperti apa yang akan terjadi?
Dikutip dari Nature, Rabu (18/8/2010), dampak paling besar dari punahnya nyamuk akan terjadi di habitat tundra (padang es) di kutub utara. Di tempat yang merupakan sarang terbesar bagi spesies nyamuk Aedes impiger dan Aedes nigripes, migrasi burung akan berkurang hingga 50 persen karena berkurangnya salah satu makanan kesukaan para burung.
Migrasi satwa yang lain juga akan terpengaruh, antara lain karibu atau sejenis rusa kutub. Ribuan karibu yang sebelumnya menghindari gigitan nyamuk akan menyerbu wilayah tundra, lalu diikuti para serigala yang merupakan predator utama para karibu.
Spesies ikan pemakan nyamuk, Gambusia affinis juga terancam punah jika nyamuk sudah tidak ada. Punahnya ikan ini sedikit banyak tentunya juga akan berdampak pada rantai makanan yang terjadi di perairan air tawar.
Terlebih lagi, larva atau jentik nyamuk turut memegang peran dalam penguraian sampah organik. Saat berada di genangan air, jentik-jentik tersebut mendapatkan nutrisi untuk tumbuh dari sisa-sisa tanaman yang membusuk.
Namun banyak kalangan menilai, dampak yang terjadi di ekosistem tersebut sebanding dengan tingkat kematian pada manusia akibat gigitan nyamuk. Malaria misalnya, tercatat menelan 247 juta korban jiwa di seluruh dunia setiap
tahunnya.
Apalagi para pakar meyakini, berbagai jenis insektivora (pemakan serangga) tidak akan terlalu kesulitan beradaptasi untuk beralih memangsa serangga lain jika sudah tidak ada nyamuk. Sedangkan untuk penguraian sampah organik, peran jentik nyamuk bukan tak tergantikan karena masih banyak jenis pengurai yang lain.
Sumber :
health.detik.com
0 komentar:
Posting Komentar